Memanfaatkan Balai Banjar Untuk tempat belajar dan pelestarian Budaya Bali Asli

    Saya pernah menonton film lawas, Film Bali “Tiempo Duloe” yang kebetulan dipinjami oleh teman, yang dia dapatkan dari seorang tamu asing yang kebetulan berada di Bali sekitar tahun 1940. Disitu terkesan bahwa setiap pemudi bisa menari dan setiap pemuda bisa memainkan alat gambelan. Masyarakatnya terlihat lugu, dengan pakaian seadanya. Mereka berkumpul di Balai Banjar untuk bersama-sama belajar menari dan menabuh. Mereka terdorong dari dalam dirinya sendiri untuk bisa berperan. Terlihat anak-anak yang umurnya masih relatif kecil sudah sangat pintar menari dan memainkan gambelan. Balai Banjar tempo dulu yang terbuka, beratapkan alang-alang dan bertiang kayu kelapa, dengan temboknya terbuat dari tanah popolan.  Bangunan Balai Banjar yang sangat sederhana ini, sebagai tempat belajar dan melestarikan budaya dari leluhur kita.
Fungsi utama Balai Banjar, sebagai tempat untuk bermusyawarah dan mufakat dari Desa Adat tersebut. Namun fungsi lainnya antara dipagi hari dipakai tempat berjualan makanan traditional, tergambar dalam pikiran yang kebetulan umurnya cukup usia bahwa, beberapa ibu-ibu rumah tangga berjualan makanan khas Bali seperti  nasi bubur dengan jukut paku berisi santan, jaja laklak berisi parutan kelapa dan gula aren, jaja klepon dengan isinya gula aren yang manis dan asin, jaja bulung yang manis, minuman daluman dan yang  lainnya. Ini merupakan suatu ajang melestarikan makanan (kuliner) asli Bali.  Menjelang tengai tepet (sekitar jam 11.00 sampai jam 14.00) para orang tua berkumpul di Balai Banjar bercengkrama sambil mecelin kurungan (ayam aduan), suatu ikmah yang sangat baik untuk melaksanakan komunikasi personal antar warga. Sedangkan disore harinya dipakai sebagai tempat belajar pesantian (makekidung atau mewirama), tempat latihan menari dan megambel. Dan juga sekali-sekali, terutama saat ada upakara odalan disalah satu pura desa, Balai Banjar dipakai tempat untuk sambungan  ayam (Tajen).
Lain dulu lain sekarang, itulah pepatah yang kita sering dengar dimasyarakat. Kehidupan dulu terlihat sangat sederhana sekali, orang Bali sangat lugu-lugu, tanpa mengenakan alas kaki dan pakaiannya hanya menutupi bagian yang dikramatkan saja. Tidak ada masalah adat yang berarti, apalagi masalah pembagian warisan. Namun sekarang sangat berbeda. Adanya kasus tanah adat, kasus tanah laba pura, kasus warisan, kasus kuburan dan masih banyak kasus lainnya. Jaman sekarang, jaman global atau jaman tehnologi modern. Para ibu-ibu dan para gadis memakai sepatu tinjik, sepatu boat, celana bikini dan baju ketat untuk memperlihatkan badannya yang seksi bagaikan guitar spanyol yang terbungkus transparan dan rapi yang mengoda untuk menyentuh memainkan kemolekannya. Bahkan ada juga buka-bukaan yang menampakkan bodynya sangat seksi, seperti cewek-cewek kebanyakan yang ada di cafe-cafe yang kita lihat,  yang memancing para lelaki untuk datang meneguk minuman beralkohol disampingnya sampai teller dan uangnya terkuras untuk membayar nota, yang jumlahnya tidak sedikit, demi mendapatkan kenikmatan hidup sesaat. sehingga banyak tidak sedikit terjalin suatu perselingkuhan. Apa itu budaya yang mendukung keberadaan agama kita?. Sudah tentu tidak.
Disinilah peran desa adat dan perangkat desa adat yang ada untuk menetralisir budaya asing yang tidak cocok dengan budaya yang kita warisi dari nenek moyang kita. Kita semua setuju, jangan sampai kebablasan. Untuk itu mari kita cegah, sebelum menjamur disekitar desa adat kita. Mari arahkan para muda-mudi kembali, melestarikan budaya nenek moyang yang sangat luhur yang kita miliki. Mari kita memulai aktifkan kembali Balai Banjar dimasing-masing desa pekraman kita, mulai sekarang. Balai banjar yang terbuat dari tulang beton yang kokoh, dengan tiang  dan temboknya ditutupi dari paras palemanan kelas satu, yang penuh dengan hiasan ukiran yang tergores rapi hasil dari tangan terampil masyarakat Bali asli yang tiada duanya didunia. Dan bagian lainnya yang terbuat dari kayu terukir rapi dan tergores cat prada emas yang terkesan mewah.  Serta didalamnya terdapat seperangkat gambelan gong, yang terukir dengan warna prada emas, yang terlihat mewah dan mahal. Semua itu tidak ada artinya tanpa kita manfaatkan untuk pembentukan generasi baru yang kokoh sekokoh tulang beton bangunan Balai Banjar tersebut.
Kita semua tidak memungkiri sebagai orang Bali, kita semua kuwatir apabila ada keluarga kita, anak-cucu kita terlibat perjudian, minuman beralkohol, narcoba, perselingkuhan apalagi sampai terjadi perceraian. Sungguh sangat mencoreng muka kita sebagai orang Bali. Kita tentunya akan sangat bahagia apabila keluarga kita berprestasi, mampu ngayah metetabuhan atau megambel, Mekidung atau mewirama dan menarikan tarian pelengkap upakara (tari rejang, pendet, baris dan tarian lainnya)disaat piodalan.
Dan kita semua wajib melestarian budaya leluhur kita karena sudah teruji kebaikannya. Sampai-sampai nama Bali tersohor diseluruh dunia, sehingga tidak sedikit dari masyarakat dunia berdatangan, mereka membangun villa-villa dan menetap tinggal di Bali dan masih banyak lagi dari mereka berkeinginan untuk datang bersama keluarganya bergabung menjadi orang Bali. Mereka berkeinginan menikmati budaya tradisi kita yang adiluhung. Kita di Bali merasakan kedamian, kesejahtraan dan hidup berdampingan saling membantu satu dengan yang lainnya.  Budaya ini tidak ada duanya di Dunia.
Mari kita bangkitkan system gotong royong yang kita warisi dari dulu. Kita tidak memungkiri diantara kita masih banyak hidup dibawah garis kemiskinan, mereka tidak memiliki rumah yang layak, bahkan untuk mendapatkan sesuap nasipun cukup sulit. Mari kita bersama-sama mencarikan jalan keluar. Pada jaman dulu terlihat hidupnya hampir merata, mungkin karena system gotong royong yang ada, saling membantu, yang kuat membantu yang lemah dan sebaliknya.  Sekarang program pemerintah membantu yang miskin berupa bantuan bedah rumah, namun realisasinya seperti kita lihat dalam kenyataan dilapangan. Kalau system gotong royong bisa dibangkitkan tentunya sangat bermanfaat untuk desa pekraman karena sudah terbukti dari jaman nenek moyang kita.
Kita sebagai masyarakat Bali, mari lestarikan budaya kita melalui agama Hindu yang kita anut. Jangan sampai menjual tanah warisan leluhur ketangan investor yang hanya ingin menikmati indahnya budaya kita. Investor yang datang membawa budaya mereka yang bertentangan dengan budaya Bali. Kita harus tentang investor yang merusak kelestarian alam dan tidak menjalankan kesehimbangan menuju harmoni kehidupan  yang kita sebut “Tri Hita Karana” yaitu terpeliharanya hubungan kita kepada Sang Pencipta Semesta “Ida Sanghyang Widhi Wasa”; terpeliharanya keharmoniaan diantara kita sebagai masyarkat Bali dan kelestarian isi Semesta ini, yaitu alam atau lingkung itu sendiri. Urusan pelestarian dan penataan lingkungan menjadi tanggung jawab kita semua komponen masyarakat (Bali).
Dari sisi para pelaku pariwisata mestinya disadari bahwa pariwisata berkelanjutan, sangat ditentukan oleh pelestarian alam dan budaya Bali. Apalagi kepariwisataan Bali mengusung pariwisata budaya di mana alam dan pelaku seni budaya sebagai pilar utamanya. Para Investor seringkali tidak memberi prioritas pada lingkungan alam dan budaya, serta tekanan kegiatan pariwisata dan globalisasi dalam jangka panjang bukan tidak mungkin akan menyebabkan krisis jati diri bagi masyarakat Bali………… . Kita Masyarkat Bali yang berbudaya bernapaskan Agama Hindu, merasa terdesak dengan jaman Globalisasi. Masyarakat Bali tidak sedikit yang berkeinginan menjauh dari kenyataan yang ada sekarang. Banyak yang merasakan terimpit, dengan biaya hidup yang cukup tinggi. Semuanya serba uang. Tidak sedikit dari masyarakat Bali asli pergi bertransmigrasi ke pulau lain, sedangkan masyarakat dari luar Bali masuk menyerbu Bali.
Apa yang dibangun pada masa lalu adalah yang kita nikmati hari ini. Sementara apa yang kita bangun hari ini adalah apa yang akan dinikmati oleh generasi penerus kita di masa depan. Berdasar pemikiran inilah, kita harus berjuang untuk mempertahankan diri. Terutama mulai dari lingkungan Desa Pekraman masing-masing, yang didukung oleh program pemerintah. Dan Bagi yang bekerja disektor kepemerintahan harus bersenergi dengan Desa Pakraman, berjuang di dunia politik kepemerntahan demi pelestarian budaya Bali asli yang kita warisi.
Untuk urusan ekonomi kedepan, Kita sebagai bapak/ibu rumah tangga yang sudah memiliki anak atau yang akan menikah dan nantinya berharap mempunyai anak yang su putra. Agar kelak nantinya bisa memiliki swadharma atau pekerjaan dengan hasil yang lebih layak  dari pada orang yang  datang dari luar Bali, mau tidak mau harus menuruti jaman sekarang, agar supaya tidak ketinggalan jaman. Kita harus berusaha berinvestasi di pendidikan. Kita harus berusaha belajar terus dari orang-orang yang sukses dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus memperdayakan diri, bergerak lebih aktif dan memanfaatkan waktu untuk berkarya, belajar terus menerus sesuai perkebangan yang ada dan mempertahankan budaya yang bernapaskan agama Hindu sebagai adat istiadat.
Dulu kala pada jaman power (jaman kekuatan tenaga), siapa yang kuat atau yang perkasa mereka yang menang. Kemudian di jaman machine (jaman alat-alat bantu berupa machine bertehnologi), siapa yang bisa membeli facilitas mechine mereka yang kuat. Dan jaman global seperti sekarang ini, disebut sebagai jaman Mind (jaman creative/pikiran), siapa yang mampu menguasai tehnologi dan creative memodifikasi dan mengoperasikannya, maka mereka yang akan kuat. Jangan heran orang-orang yang menguasai tehnologi IT, banyak  diantara mereka menjadikan dirinya milioner dunia. Termasuk perusaan yang membuat pesawat luar angkasa, dengan jarak tempuh yang sangat luarbiasa tanpa kehabisan bahan bakar. Dengan hanya duduk saja didepan computer bisa mengasilkan uang jutaan rupiah dalam sehari. Dan dalam hitungan detik masalah bisa dipecahkan karena ada tehnologi komunikasi yang mendukung berupa alat canggih Telpon dan Internet.
Kesimpulannya:
Semua komponen masyarakat harus bergandengan tangan dalam pelestarian budaya dan pembentukan karakter generasi muda.  Kembalikan fungsi dari Balai Banjar yang ada untuk tempat kegiatan pelestarian dan belajar berkomonitas/ bermasyarakat. Karena dengan komunikasi yang baik antar warga masyarakat dan mengisi waktu luang dengan kegiatan yang positif maka hasilnya akan positif. Kalau mau hidup excist, kita harus mengikuti perkembangan yang ada, namun harus memilah-milah sesuai dengan kecocokan di budaya kita. Jangan sampai kita roboh teradopsi dengan budaya luar. Kita harus jalin kekuatan antar anggota Desa Pakraman, dan dengan Desa Pakraman lainnya juga. Kita harus kuat agar terbentuk jiwa yang kuat, dalam mempertahankan diri. Kita harus memanfaatkan waktu untuk belajar terus agar bisa mengikuti jaman Globalisasi tanpa harus terlindas dan berusaha melestrikan adat-istiadat sebagai budaya Bali yang bernapaskan Agama Hindu.
Adapun fungsi Desa Pekraman dalam potensinya di jaman Globalisasi sebaiknya sebagai berikut:
1.    Melakukan penelitian dan pengembangan terhadap kekayaan sosio-budaya yang merupakan warisan leluhur yang adiluhung.
2.    Memberikan pertimbangan kepada pemerintah dan masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pelestarian warisan sosio-budaya untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat.
3.    Melestarikan khasanah budaya leluhur, baik yang kasat mata, maupun tak kasat mata.
4.    Mengelola seluruh warisan budaya leluhur sebagai aset budaya yang tak ternilai harganya.
5.    Mendokumentasikan warisan budaya leluhur dalam bentuk sebuah museum, perpustakaan atau bentuk lainnya.
6.     Mengembangkan jaringan informasi tentang pelestarian warisan budaya leluhur secara meluas di tingkat nasional, regional,   maupun internasional.
7.    Menentukan cara terbaik dalam melestarikan warisan budaya dalam pembangunan, khususnya pembangunan pariwisata (investor) yang cenderung ekspansif dan bersifat missal.
8.    Merancang program-program pendidikan dalam rangka pelestarian warisan budaya leluhur.

 

Semoga bermanfaat

 

INyoman Stidana, S.Kes.H

 

0