Menurut Hipocrates (460-377 SM). bahwa sakit bukan disebabkan oleh hal-hal yang bersifat supranatural tetapi ada kaitannya dengan elemen-elemen bumi, api, udara, air dan ruang yang dapat menyababkan kondisi dingin, kering, panas dan lembab. Konsep Hippocrates bahwa Miasma atau miasmata berasal dari kata Yunani yang berarti something dirty (sesuatu yang kotor) atau bad air (udara buruk). Miasma dipercaya sebagai uap yang dihasilkan dari sisa-sisa makhluk hidup yang mengalami pembusukan, barang yang membusuk atau dari buangan limbah yang tergenang, sehingga mengotori udara, yang dipercaya berperan dalam penyebaran penyakit. Semua itu terjawab dengan jelas setelah ditemukannya mikroskop oleh Anthony van Leuwenhoek, Louis Pasteur menemukan bahwa materi yang disebut miasma tersebut sesungguhnya merupakan mikroba, sebuah kata Yunani yang artinya kehidupan mikro “small living” (Tuti . 2014). Kondisi ini dapat berpengaruh pada cairan tubuh, darah, cairan empedu kuning dan empedu hitam. Pada zaman ini hipocrates telah menghubungkan antara kejadian sakit dengan faktor lingkungan. Ia mengemukakan teori tentang sebab musabab penyakit, yaitu bahwa: a) Penyakit terjadi karena adanya kontak dengan jasad hidup, dan b) Penyakit berkaitan dengan lingkungan eksternal maupun internal. Teori ini kemudian dianggap tidak benar oleh kedokteran modern. Menurut teorinya, tipe atom terdiri dari empat jenis: atom tanah (solid dan dingin), atom udara (kering), atom api (panas), atom air (basah). Selain itu ia yakin bahwa tubuh tersusun dari empat zat: flegma (atom tanah dan air), empedu kuning (atom api dan udara), darah (atom api dan air) dan empedu hitam (atom tanah dan udara) (dalam Azizah. 2014). Penyakit dianggap terjadi akibat ketidakseimbangan cairan sementara demam dianggap terlalu banyak darah. Teori ini mampu menjawab masalah penyakit yang ada pada waktu itu dan dipakai hingga tahun 1800-an. Kemudian ternyata teori ini tidak mampu menjawab tantangan berbagai penyakit infeksi lainnya yang mempunyai rantai penularan yang lebih berbelit-belit (Santa. 2013).
Menurut Abraham Maslow (dalam Muthoharoh. 2012) Inti kebutuhan dasar manusia adalah terpenuhinya tingkat kepuasan agar manusia dapat mempertahankan hidupnya. Kerangka kerja pada teori ini menggambarkan suatu bagian dimana penerapan proses kesehatan selalu difokuskan pada kebutuhan individu yang unik dan sebagai suatu bagian integral dari keluarga dan masyarakat. Keseimbangan antar kebutuhan tersebut menjadi tanggung jawab dari setiap orang. Misalnya, tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah memenuhi kebutuhan dasar anak tersebut. Demikian juga dengan tanggung jawab perawat, yaitu memberikan dukungan, memfasilitasi, dan mengkomunikasikan kepada klien, baik yang sehat maupun yang sakit, untuk membantu memenuhi kebutuhan dasarnya.
Menurut Parson (1972), Penyakit adalah suatu keadaan abnormal dari tubuh atau pikiran yang menyebabkan ketidak nyamanan, disfungsi atau kesukaran terhadap orang yang dipengaruhinya (dalam Tuti Yuniatun 2014). Penyakit adalah keadaan yang bersifat objektif sedangkan rasa sakit adalah keadaan yang bersifat subjektif. Seseorang yang menderita penyakit belum tentu merasa sakit, sebaliknya tidak jarang ditemukan seseorang yang selalu mengeluh sakit padahal tidak ditemukan penyakit apapun pada dirinya.
Menurut John Gordon dan La Richt pada tahun 1950, dikenal dengan dengan Teori Ekologi Lingkungan. Ia menggambarkan terjadinya penyakit sebagai adanya sebatang pengungkit yang mempunyai titik tumpu di tengah-tengahnya, yakni Lingkungan (Environment). Pada kedua ujung batang tadi terdapat pemberat, yakni agent/penyebab penyakit dan Pejamu atau host/populasi berisiko tinggi (Tuti. 2014).
Dalam kehidupan masyarakat China teori Humoral, yang beranggapan bahwa penyakit disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dalam tubuh. Dikatakan bahwa dalam tubuh manusia terdapat empat macam cairan yaitu putih, kuning, merah dan hitam. Bila terjadi ketidakseimbangan akan menyebabkan penyakit, tergantung dari jenis cairan yang dominan (Santa. 2014).
Menurut Florence Nightingale dalam Teori Holistik Keperawatan, Juga menyebutkan bahwa kesehatan holistik merupakan suatu kelangsungan kondisi kesejahteraan yang melibatkan upaya merawat diri sendiri secara fisik, upaya mengekpresikan emosi dengan benar dan efektif, dan upaya untuk menggunakan pikiran dengan konstruktif, upaya untuk secara konstruktif terlibat dengan orang lain dan upaya untuk memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Keperawatan holistik yang dimaksud adalah ilmu keperawatan mencakup seluruh aspek manusia, baik biologi (fisik), psikologi (kejiwaan), siosial (interaksi), kultural (budaya) dan spiritual (keagamaan). Selain itu holistik juga menyangkut kesejahteraan yang meliputi fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual (Wellness) (dalam Purwanto. 2012:3). Hal ini mendasari bahwa peran penting factor lingkungan, sebagai penyebab dari suatu penyakit yang diderita oleh mahkluk hidup.
Pendekatan sosial dalam teori kesehatan menurut Sarwono (1993) adalah sebagai berikut: 1) Pendekatan Emik, yaitu menganalisa perilaku seseorang dengan mendapatkan informasi dari pelaku sendiri, bersifat naratif, subjektif dan sukar digeneralisir, untuk mengetahui latar belakang seseorang, misalnya ketika kita berhadapan dengan seseorang yang tidak mau diberikan Imunsasi, bila kita mengetahui alasannya dalam waktu yang akan datang kita sudah dapat mengantisipasi dengan memberikan alternative jalan keluar yang lebih baik; 2) Pendekatan Etik, yaitu menganalisa perilaku/gejala social dari sudut pandang orang luar dan dibandingkan dengan budaya lain, sifatnya objektif dan mempunyai indicator/ukuran, agar bisa dibandingkan, misalnya bagaimana prsepsi penduduk pinggir kali tentang air bersih, yang melatarbelakangi pemakaian air sungai oleh penduduk sekitar daerah tersebut, biasanya juga dilakukan penelitian tentang budaya dua daerah tentang presepsi dan perilaku dalam membuang sampah (Atmanah, dkk. 2014).
Menurut WHO (1947) Sehat itu sendiri dapat diartikan bahwa suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Definisi WHO tentang sehat mempunyai karakteristik berikut yang dapat meningkatkan konsep sehat yang positif (dalam Rontono. 2013) memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh; 2) Memandang sehat dengan mengidentifikasi lingkungan internal dan eksternal, dan; Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup. Berarti sehat itu adalah suatu keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial dan spiritual.
Dalam UU No.23, 1992 tentang kesehatan disebutkan bahwa: Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan. Pengertian yang paling luas, sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal (psikologis, intelektual, spiritual dan penyakit) dan eksternal (lingkungan fisik, sosial dan ekonomi) dalam mempertahankan kesehatannya (Kemenkes. 2009).
Menurut Fraser, J.G. (1890) dalam teori batas akal, disebutkan bahwa manusia memecahkan masalah-masalah hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan manusia terbatas. Makin maju kebudayaannya, makin luas batas akal itu. Dalam banyak kebudayaan batas akal manusia masih sangat sempit. Soal-soal hidup yang tidak dapat mereka pecahkan dengan akal, dipecahkan dengan magic, atau ilmu gaib. Menurut Frazer, ketika religi belum hadir dalam kebudayaan manusia, manusia hanya menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan masalah-masaah hidup yang berada di luar jangkauan akal dan pengetahuannya. Ketika mereka menyadari bahwa ilmu gaib tidak bermanfaat bagi mereka, mulailah timbul kepercayaan bahwa alam dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa, sehingga manusia kemudian mulai mencari hubungan dengan Tuhan sebagai Penguasa (dalam Mois. 2008:5).
Menurut M. Crawley dan A. van Gennep (1905) dalam teori masa krisis dalam hidup individu. Kedua pakar menyatakan bahwa selama hidupnya manusia mengalami berbagai krisis yang sangat ditakuti oleh manusia, dan karena itu menjadi objek dari perhatiannya. Terutama terhadap bencana sakit dan maut, segala kepandaian, kekuasaan, dan harta benda yang dimilikinya, manusia tidak berdaya. Bagi manusia, ada saat-saat ketika manusia mudah jatuh sakit atau tertimpa bencana. Misalnya masa kanak-kanak, atau saat ia beralih dari usia pemuda ke usia dewasa, masa hamil, melahirkan, dan saat ia menghadapi sakratul maut. Pada saat-saat seperti itu manusia merasa perlu melakukan sesuatu untuk memperteguh imannya, yang dilakukannya dengan upacara-upacara. Perbuatan-perbuatan inilah yang merupakan pangkal dari religi dan merupakan bentuk-bentuk yang tertua (dalam Mois. 2008:6).
Menurut R.R. Marret (1909) dalam Teori Kekuatan Luar Biasa. Ia tidak sependapat dengan Tylor. Menurutnya, kesadaran seperti itu terlalu kompleks bagi pikiran makhluk manusia yang baru berada pada tingkat-tingkat awal dari kehidupannya. Pangkal dari segala perilaku keagamaan ditimbulkan oleh perasaan tidak berdaya dalam menghadapi gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap luar biasa dalam kehidupannya. Alam dianggap sebagai tempat adanya kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan yang telah dikenalnya dalam alam sekelilingnya, disebut the supernatural. Gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa itu dianggap sebagai akibat dari kekuatan supernatural atau kekuatan sakti (dalam Mois. 2008:6).