singgrong jangkep Usada Bali RAMUAN IMUNITAS DARI LONTAR USADA
Artikel
Bhakti Sosial Pelayanan Kesehatan terintegrasi di Pasraman Seruling Dewata
Pelayanan Kesehatan terintegrasi dilaksanakan pada 25 Juli 2022, dalam rangka peringatan Ulang Tahun Seruling Dewata Bali pada 26 Juni 2022. acara kegitan di Pasraman Seruling Dewata Pusat yang berlokasi di Desa Bantas, Bajra Tabanan Bali dengan berbagai jenis layanan seperti: check up Tensi check kolesterol check asam urat check gula darah terapi pijat meridian mata terapi pijat seputar meridin telinga, dan pundak terapi wacarak wuton kelahiran terai akupunture terapi bekam terapi kopping dan moksibasi terapi pijat badan dan totok punggung. terapi prana Terapi Usada Tirta. terapi mandi uap rempah-rempah bersama team fakultas kedokteran Unud dan Gotra Pengusada Taru Pramana Bali. jumlh peserta terapi 150 orang klients dengan melibatkan sekitar 20 terapist pengobatan traditional Bali. terapi kesehatan masal ini dihadiri oleh anggota pasraman Seruling Dewata Bali dan masyarakat di desa Denbantas, Bajra Tabanan. Acara berlangsung dengan sangta baik dan tertib sesuai SOP yang telah disepakati ketika online teknikel meeting dengan panitia penyelenggara dan ketua team terapis medis dan tradisional Usada Bali Taru Pramana. Suksma Hyang Widhi, pini sepeuh, team panitia, para dokter dan para terapist Gotra Usada Taru Pramana.
Segudang Manfaat Tanaman Ciplukan
Tumbuhan ciplukan yang mudah didapat disekitar wilayah tempat tinggal. Ciplukan yang juga dikenal dengan nama lain tumbuhan kopok-kopokan adalah tumbuhan asli Amerika yang kini telah tersebar secara luas di daerah tropis di dunia termasuk di Indonesia. Di Bali tumbuh secara liar di kebun, tegalan, tepi jalan, kebun, semak, hutan ringan, tepi hutan. keciplukan biasa tumbuh di daerah dengan ketinggian antara 1-1550 m dpl. (dari tepi pantai sampai daerah pegunungan di Kintamani bisa tumbuh secara liar. Tanaman ini memang tumbuh liar sehingga banyak orang yang menganggapnya sebagai semak yang tidak berguna.
Nama lokal : Ciplukan (Indonesia), Ceplukan (Jawa), Cecendet (Sunda), Yor-yoran (Madura), Lapinonat (Seram), Angket, Kepok-kepokan, Keceplokan, ciplukan (Bali), Dedes (Sasak), Leletokan (Minahasa), Orang asing menjulukinya morel berry, dengan Nama ilmiah : Physalis angulata L.
Bunga ciplukan berwarna kuning. Sedangkan buahnya berwarna hijau kekuningan. Buah ciplukan muda dilindungi tudung. Buah ini biasanya dikonsumsi saat sudah tua(berwarna kuning). Cita rasanya manis keasaman. Ciplukan naik daun beberapa waktu terakhir. Buah ini banyak dijajakan di supermarket atau dijual secara daring (online)
Penggunaan secara empiris diberbagai daerah di Indonesia antara lain Akar tumbuhan ciplukan pada umumnya digunakan sebagai obat cacing dan penurun demam. Daunnya digunakan untuk penyembuhan patah tulang, busung air, bisul, borok, penguat jantung, keseleo, nyeri perut, dan kencing nanah. Buah ciplukan sendiri sering dimakan; untuk mengobati epilepsi, tidak dapat kencing, dan penyakit kuning.
Secara ilmiah telah dibuktikan dan telah diteliti oleh para ahli dari berbagai negara. Penelitian tersebut biasanya terfokus pada aktivitas yang dimiliki oleh ciplukan. Dari penelitian yang telah dilakukan, baik secara in vitro maupun in vivo, didapatkan informasi bahwa ciplukan memiliki aktivitas sebagai antihiperglikemi, antibakteri, antivirus, imunostimulan dan imunosupresan (imunomodulator), antiinflamasi, antioksidan, dan sitotoksik.
Dalam buku Ragam dan Khasiat Tanaman Obat (2008) oleh Hieronymus Budi Santoso, tanaman ciplukan memiliki zat yang bermanfaat untuk kesehatan. Antara lain: Buah: mengandung vitamin C, asam sitrus, fisalin, zat gula, tanin, kriptoxantin, asam malat, dan alkaloid Akar dan batang: mengandung saponin dan flavonoid. Daun: mengandung polifenol dan asam klorogenat . Biji: mengandung asam elaidik Deretan zat dan senyawa dari kandungan ciplukan tersebut membuat tanaman ini dipercaya dapat mengatasi berbagai gangguan kesehatan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh 1} Baedowi [1998] telah melakukan penelitian terhadap ciplukan secara in vivo pada mencit. Dari penelitiannya tersebut, didapatkan informasi bahwa ekstrak daun ciplukan dengan dosis 28,5 mL/kg BB dapat mempengaruhi sel β insulin pankreas. Hal ini menunjukkan adanya aktivitas antihiperglikemi dari ciplukan. 2) Januario et al. (2000) telah menguji aktivitas antimikroba ekstrak murni herba Physalis angulata L. Fraksi A1-29-12 yang terdiri dari fisalin B, D, dan F menunjukkan KHM (Kadar Hambat Minimum) dalam menghambat Mycobacterium tubercolosis sehingga diduga fisalin D berperan penting pada aktivitas antimikroba yang ditunjukkan.
Kaya Antioksidan: Ciplukan adalah satu di antara buah yang mengandung antioksidan cukup tinggi, yang berperan aktif mengatasi penyakit hepatitis, malaria, rematik, dermatitis, asma, hingga kanker.
Etanol dalam buah ciplukan mengandung antioksidan yang dapat melindungi dan memperbaiki kerusakan sel dalam tubuh akibat radikal bebas. Sebuah penelitian menyatakan bahwa antikanker dalam buah ciplukan tidak boleh diabaikan.
Berbagai Vitamin: Buah ciplukan kaya nutrisi, seperti vitamin A, vitamin C, vitamin D hingga vitamin K. Kandungan tersebut tentunya sangat baik bagi kesehatan.
Vitamin A dalam buah ciplukan yang dapat meningkatkan penglihatan serta menyehatkan mata. Buah ciplukan juga mengandung zat lutein, beta karoten, dan karotenoid yang dapat mencegah dari degenerasi makula. Degenerasi makula merupakan penyebab utama kebutaan pada orang tua.
Zat karotenoid dalam buah kecil ini juga mampu mencegah risiko beberapa gangguan mata.
Vitamin C dalam buah ciplukan dipercaya mampu menjaga kesehatan tubuh. Vitamin C mampu mencegah beberapa penyakit, seperti panas dalam. Selain itu, vitamin C dan D dalam buah yang satu ini juga bermanfaat untuk kecantikan.
Kandungan vitamin K dalam buah ciplukan berfungsi menjaga kesehatan tulang, menjaga kesehatan kulit, dan menjaga tekanan darah untuk tetap nomal. Bahkan, vitamin K di ciplukan apat menurunkan risiko penyakit jantung koroner.
senyawa fenolik: Kendati berukuran kecil, buah ciplukan mengandung senyawa fenolik yang dapat melawan perkembangan sel kanker payudara dan kanker usus besar.
Menurut hasil penelitian dari University of Bonn di Jerman, manfaat buah ciplukan untuk kanker ini tak kalah efektif dari buah lainnya, misalnya jeruk.
Secara empiris tanaman keciplukan telah dimanfaatkan sebagai ramuan untuk membantu mengatasi keluhan:
Mengatasi tekanan darah tinggi (hipertensi).
Cara mengolah ciplukan untuk hipertensi, sediakan lima gram ciplukan kering dan rebus dalam 110 mililiter air. Tunggu rebusan selama 10-15 menit, sambil sesekali diaduk. Lalu saring, tunggu sampai dingin, baru minum dua kali sehari. Perhatikan, air rebusan ciplukan tidak boleh diminum setelah 24 jam karena sudah rusak.
Membantu mengatasi maslah kencing manis
Caranya: rebus 10 gram ciplukan kering dalam 400 mililiter air. Tunggu rebusan selama 10-15 menit, sambil sesekali diaduk. Lalu saring, tunggu sampai dingin, baru minum dua kali sehari.
Untuk Membantu mengatasi bisul,
Caranya: gunakan satu genggam daun ciplukan, satu sendok teh adas pulasari, satu lembar daun sirih, dan sedikit garam. Campurkan semua bahan dan remas-remas sampai lembut. Baru oleskan sekitar bisul.
Untuk Membantu mengatasi borok
Caranya ambil satu genggam daun ciplukan dan tambahkan dua sendok teh air kapur sirih. Tumbuh sampai halus bahan tersebut, lalu tempelkan ke bagian yang sakit.
Membantu mengatasi Gusi berdarah Kandungan.
Caranya, makan buah ciplukan segar sebanyak 30 buah setiap hari, vitamin C dalam buah ciplukan digunakan untuk mengatasi gusi berdarah.
Mengatasi penyakit batu ginjal
Melansir buku Ahli Atasi Kolesterol, Hipertensi, Diabetes (2016) oleh Trubus, kandungan antibakteri dalam ciplukan dapat meluruhkan endapan kalsium dalam ginjal. Untuk mengatasi batu ginjal, gunakan campuran 10 gram ciplukan kering, 15 gram bawang dayak kering, 15 gram meniran kering, 15 gram kumis kucing kering, 30 gram kejibeling kering, dan 10 gram daun sendok kering. Campuran tersebut direbus dalam lima gelas air, dan tunggu sebentar sampai air rebusan susut menjadi tiga gelas. Saring, lalu minum tiga kali sehari. Untuk menjamin keamanan obat tradisional ciplukan, pastikan berkonsultasi dengan dokter sebelum mengonsumsi ramuan di atas sebab bagi yang menjalani terapi cuci darah biasanya ada diet Kalium.
Begitu juga dalam Terapi Usada di Bali, khususnya di pedesaan yang kebanyakan sebagai petani telah biasa membuat loloh dengan merebus tanaman ini secara keseluruhan (Simplesia:akar, batang, daun, bunga, buah) untuk menjaga stamina sehari-harinya ditambahkan dengan irisan rimpang kunir.
Di Pengobat Usada Taru Pramana sudah tersedia Olahan berbentuk Herbal Celup dan Herbal Jamu kering dengan takaran dosis yang tepat, telah lama di observasi penggunaanya baik secara empiris dan diteliti lebih lanjut penggunaannya sehingga berani merekomendasikan keunggulan bahan dasar ramuan Usada tanaman ciplukan.
REAKSI RAMUAN HERBAL LAMBAT NAMUN PASTI MEMUASKAN
REAKSI RAMUAN HERBAL LAMBAT NAMUN PASTI MEMUASKAN
Masyarakat yang mengonsumsi herbal untuk pertama kalinya, mungkin akan dikejutkan oleh efek dan reaksi tidak menyenangkan yang dihasilkannya. Akibatnya, seringkali beberapa masyarakat menyimpulkan bahwa mereka mengalami keracunan. Mari kita lihat reaksi seperti apa yang dimaksudkan dalam penjelasan berikut.
Reaksi Ramuan Obat Herbal
Reaksi yang dimaksudkan di atas, biasanya akan muncul dalam bentuk yang berbeda-beda pada tiap masyarakat. Terkadang, pada awal terapi herbal, perut Kita akan terasa seperti dikocok selama satu atau dua hari, pusing, mual, dan sakit perut mungkin menyertainya. Jika kita mengalaminya, jangan khawatir! Secara umum dikatakan bahwa reaksi ini adalah efek penyesuaian tubuh, dimana tubuh menyesuaikan sistem metabolisme untuk bisa memanfaatkan pengobatan yang diberikan oleh herbal tersebut dan biasanya akan hilang setelah beberapa hari. Selain efek penyesuaian tersebut, akan ada efek detoksifikasi, dimana tubuh mengeluarkan racun atau zat-zat berbahaya dari dalam tubuh ketika/setelah menerima pengobatan. Reaksi yang mungkin muncul adalah batuk-batuk, pilek, demam, gatal-gatal, banyak mengeluarkan keringat, sering buang air kecil dan besar dan sekali lagi efek tersebut akan berbeda-beda pada tiap masyarakat. Jika kita merasakan reaksi atau efek yang tidak menyenangkan tersebut, ketika/setelah menggunakan obat herbal, jangan menyerah dan menghentikan pengobatan yang diberikan, itu sama saja dengan menghentikan proses pengobatan dan pemulihan. Jika kita tidak yakin, konsultasikan dengan ahli herbal kita dan ikuti petunjuk yang diberikan. Biasanya, ahli herbal akan menganjurkan kita mengurangi dosis untuk meringankan efek tersebut dan memberikan waktu bagi tubuh untuk menyesuaikan diri dengan bekerjanya obat herbal.
Bagaimana sistem Kerja Ramuan Herbal
Sesemasyarakat yang memutuskan untuk menggunakan obat herbal sebagai pengobatan harus sabar menunggu hasilnya. Mengapa? Salah satu prinsip kerja herbal adalah reaksi obat herbal yang lambat. Tidak seperti obat kimia yang bisa langsung bereaksi, reaksi obat herbal dan manfaatnya umumnya baru dapat dirasakan setelah beberapa minggu atau beberapa bulan penggunaan. Hal itu disebabkan, senyawa-senyawa berkhasiat di dalam obat herbal membutuhkan waktu untuk menyatu dalam metabolisme tubuh. Berbeda dengan obat kimia yang bekerja dengan cara meredam rasa sakit dan gejalanya, obat herbal bekerja dengan berfokus pada sumber penyebabnya. Artinya, reaksi obat herbal bekerja dengan cara membangun dan memperbaiki keseluruhan sistem tubuh dengan memperbaiki sel dan organ-organ yang rusak. Tak heran, dibutuhkan waktu yang relatif lebih lama untuk merasakan efek obat herbal dibandingkan jika kita menggunakan obat kimia. Alasan lain, kebanyakan obat herbal yang beredar di pasaran bukan berupa senyawa aktif yang diperoleh dari proses ekstraksi melainkan berasal dari bagian tanaman obat yang diiris, dikeringkan, dan dihancurkan.
Ilmu Usada Berfungsi Secara Struktural, inilah Pendapat Para Ilmuwan Tentang Berfungsi atau Tidaknya Suatu Pengobatan Holistik
Menurut teori strukturalisme fungsional Talcott Parsons, ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi semua sistem sosial agar sistem tetap bertahan (dalam Ritzer. 2005:121). Empat fungsi tersebut diberi istilah AGIL (Adaptation, Goal, integration dan latency). Fungsi ini yang wajib harus dimiliki oleh semua sistem agar tetap bertahan (survive). Adaptation (A) artinya sistem harus dapat beradaptasi dan sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannnya. Goal (G) adalah pencapainan tujuan, dimana sistem harus bisa dan mencapai tujuan utamanya. Integration (I) artinya sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, selain itu mengatur dan mengelola ketiga fungsi tersebut. Latency (L) berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara pola, sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan kultural. Suatu fungsi adalah kumpulan hal yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Artinya fungsional melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Dalam hal ini para pasien dan praktisi pengobatan tradisional Bali saling beradaptasi sesuai dengan waktu, tempat dan situasi yang ada, ini dilakukan agar harapan keduanya saling menjaga untuk mencapai goal yang diharapkan berupa kesembuhan. Antara dan pasien saling mempertahankan hubungan baik agar pola yang telah disusunnya supaya berfungsi dengan baik untuk mempercepat goal yang diharapkan. Pendapat lainnya dari Talcott Parson dalam pendapatnya bahwa yang paling penting sebagai persyaratan fungsional dari suatu sistem sosial diantaranya: 1) Sistem sosial harus terstuktur (tertata) sehingga dapat beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lain; 2) Untuk menjaga kelangsungan hidupnya sistem sosial harus mendapatkan dukungan dari sistem lain; 3) Sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan aktornya dalam proporsi yang signifikan; 4) Sistem sosial harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya; 5) Sistem sosial harus mampu mengendalikan prilaku yang berpotensi menggangu. 6) Bila konflik akan menimbulkan kekacauan maka harus bisa dikendalikan dan; 7) Sistem sosial memerlukan bahasa.
Menurut Michael J. Jucius (dalam Soesanto, 1974:57) mengungkapkan bahwa fungsi sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan harapan dapat tercapai apa yang diinginkan. Dalam hal ini lebih menitik beratkan pada aktivitas manusia dalam mencapai tujuan. Hal ini tampak terlihat dalam tata cara melalui kegiatan para terapis Komplementer dari Balian Usada di Bali dengan dimulai kegiatan mapiuning atau memohon ijin kepada Penguasa Semesta berupa upakara atau doa-doa dan dilanjutkan pengambilan terapi baik dari mulai mendiagnosis suatu penyakit, menentukan penyakit, mencari dewasa yang baik ketika mencari bahan ramuan, waktu meramu bahan ramuan obat dan juga saat memberikan ramuan disesuaikan dengan waktunya (Bali: dauh). Ditata sedemikian rupa sehingga terbentuk dari urutan secara teratur dan fungsinya masing-masing.
Dalam teori fungsionalisme struktural menekankan pada keteraturan dan mengabaikan konflik serta perubahan-perubahan yang tejadi dalam masyarakat beragama. Menurut teori ini, masyarakat agama merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang satu sama lain saling berhubungan, menyatu dalam keseimbangan yaitu adanya singrunisasi antara terapis dan pengguna jasanya atau pasien yang diobati. Pengguna jasa atau pasien percaya apa yang dilakukan oleh terapis akan membuatnya bisa sembuh. Perubahan yang tejadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pada bagian lainnya. Dasar berpikirnya bahwa, setiap struktur dalam sistem sosial apabila tidak berfungsi dengan baik maka secara fungsional sistem sosial itu akan hilang dengan sendirinya (Triguna, 2000:29).
Suatu kegiatan pengobatan atau terapi memenuhi asumsi yang menjadi pangkal dalil serta dianggap benar tanpa perlu membuktikannya (Soekanto, 1989:13). Aktivitas dari persiapan sampai process penterapian dapat diamati, adaptable atau ada unsur penyesuaian dan ada aktivitas. Dengan obat dari tanaman, binatang dan mineral-mineral yang memiliki kasiat obat yang diberikan atau cara pengobatan memberikan ramuan, semua itu dapat diamati, dimengerti karena sesuai atau adaptable dengan kode etika kedokteran dalam kesehatan yang lebih luas.
Proses berfungsi dalam memenuhi tujuan yang hendak dicapai terdiri atas bagian yang membentuk suatu sistem yang berfungsi secara Fungsional dan terstruktur. Para Pelaku terapi komplementer seperti terapi Usada Bali dalam praktek pengobatannya tampak tidak dapat dilepaskan dari agama dan komponen budaya yang bersifat ekspersif, religious, estetik. Komponen yang dimaksud adalah keyakinan, sistem upakara, alat-alat upakara, tempat, waktu upakara dan intraksi antara dengan pasiennya, termasuk di dalamnya dengan masyarakat umum. Dalam suatu kegiatan atau pelayanan jasa agar dapat terlaksana dengan baik diperlukan adanya suatu sistem. Sistem merupakan suatu kerangka kerja yang berhubungan dengan keseluruhan aspek sosial, manusia, struktur, masalah-masalah organisasi, serta perubahan hubungan internal dan lingkungan disekitarnya. Sistem tesebut terdiri atas tujan, proses, dan isi. Tujuan adalah suatu yang harus dilaksanakan, sehingga tujuan dapat memberikan arah pada sistem.
Terapi pengobatan komplementer atau seperti pengobatan tradisional Bali masih berfungsi dengan baik di masyarakat. Konsekwensinya unsur-unsur tersebut sangat diperlukan, kenyataannya masih ada masyarakat membutuhkan jasa terapis pengobatan tradisional Bali atau Usadawan atau Balian Usada sebagai pelaku terapi komplementer. Itu artinya kegiatan terapi komplementer yang ada di Bali dengan bahan terapi yang bersumber dari alam masih diperlukan karena bersifat fungsionalis (fungsi sosiologis). Aktivitas terapi komplementer seperti usada Bali diakui oleh masyarakat dan pemerintah, terbukti resmi masuk dalam lembaga pelayanan kesehatan dengan predikat penyembuhan alternatif di bawah pengawasan Departemen Kesehatan, termasuk Bahtera Ramuan Indonesia. Dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1076/Menkes/sw/VII/2003. Secara fungsional ada hubungan timbal balik antara aktivitas dengan kesehatan dan manusia, baik secara individu maupun sosial. Memiliki hubungan timbal balik antara praktek terapi komplementer seperti usada Bali dengan praktek penyembuhan dan perawatan kesehatan dan masyarakat yang membutuhkan saling pengaruh mempengaruhi (Kemenkes. 2013:1).
Dari uraian tersebut di atas maka dengan menggunakan pendekatan teori Fungsionalisme Struktural menekankan bahwa suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang satu sama lain saling berhubungan, menyatu dalam keseimbangan yang memerlukan singrunisasi antara terapis dan pengguna jasanya. Apabila setiap struktur dalam sistem sosial tidak akan berfungsi dengan baik maka secara fungsional sistem sosial itu akan hilang dengan sendirinya. bearti pengobatan tersebut berangsur-angsur akan tutup alias tidak ada pasien yang menggunakan jasanya.
Pendapat Para Ilmuwan Tentang Penyakit
Menurut Hipocrates (460-377 SM). bahwa sakit bukan disebabkan oleh hal-hal yang bersifat supranatural tetapi ada kaitannya dengan elemen-elemen bumi, api, udara, air dan ruang yang dapat menyababkan kondisi dingin, kering, panas dan lembab. Konsep Hippocrates bahwa Miasma atau miasmata berasal dari kata Yunani yang berarti something dirty (sesuatu yang kotor) atau bad air (udara buruk). Miasma dipercaya sebagai uap yang dihasilkan dari sisa-sisa makhluk hidup yang mengalami pembusukan, barang yang membusuk atau dari buangan limbah yang tergenang, sehingga mengotori udara, yang dipercaya berperan dalam penyebaran penyakit. Semua itu terjawab dengan jelas setelah ditemukannya mikroskop oleh Anthony van Leuwenhoek, Louis Pasteur menemukan bahwa materi yang disebut miasma tersebut sesungguhnya merupakan mikroba, sebuah kata Yunani yang artinya kehidupan mikro “small living” (Tuti . 2014). Kondisi ini dapat berpengaruh pada cairan tubuh, darah, cairan empedu kuning dan empedu hitam. Pada zaman ini hipocrates telah menghubungkan antara kejadian sakit dengan faktor lingkungan. Ia mengemukakan teori tentang sebab musabab penyakit, yaitu bahwa: a) Penyakit terjadi karena adanya kontak dengan jasad hidup, dan b) Penyakit berkaitan dengan lingkungan eksternal maupun internal. Teori ini kemudian dianggap tidak benar oleh kedokteran modern. Menurut teorinya, tipe atom terdiri dari empat jenis: atom tanah (solid dan dingin), atom udara (kering), atom api (panas), atom air (basah). Selain itu ia yakin bahwa tubuh tersusun dari empat zat: flegma (atom tanah dan air), empedu kuning (atom api dan udara), darah (atom api dan air) dan empedu hitam (atom tanah dan udara) (dalam Azizah. 2014). Penyakit dianggap terjadi akibat ketidakseimbangan cairan sementara demam dianggap terlalu banyak darah. Teori ini mampu menjawab masalah penyakit yang ada pada waktu itu dan dipakai hingga tahun 1800-an. Kemudian ternyata teori ini tidak mampu menjawab tantangan berbagai penyakit infeksi lainnya yang mempunyai rantai penularan yang lebih berbelit-belit (Santa. 2013).
Menurut Abraham Maslow (dalam Muthoharoh. 2012) Inti kebutuhan dasar manusia adalah terpenuhinya tingkat kepuasan agar manusia dapat mempertahankan hidupnya. Kerangka kerja pada teori ini menggambarkan suatu bagian dimana penerapan proses kesehatan selalu difokuskan pada kebutuhan individu yang unik dan sebagai suatu bagian integral dari keluarga dan masyarakat. Keseimbangan antar kebutuhan tersebut menjadi tanggung jawab dari setiap orang. Misalnya, tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah memenuhi kebutuhan dasar anak tersebut. Demikian juga dengan tanggung jawab perawat, yaitu memberikan dukungan, memfasilitasi, dan mengkomunikasikan kepada klien, baik yang sehat maupun yang sakit, untuk membantu memenuhi kebutuhan dasarnya.
Menurut Parson (1972), Penyakit adalah suatu keadaan abnormal dari tubuh atau pikiran yang menyebabkan ketidak nyamanan, disfungsi atau kesukaran terhadap orang yang dipengaruhinya (dalam Tuti Yuniatun 2014). Penyakit adalah keadaan yang bersifat objektif sedangkan rasa sakit adalah keadaan yang bersifat subjektif. Seseorang yang menderita penyakit belum tentu merasa sakit, sebaliknya tidak jarang ditemukan seseorang yang selalu mengeluh sakit padahal tidak ditemukan penyakit apapun pada dirinya.
Menurut John Gordon dan La Richt pada tahun 1950, dikenal dengan dengan Teori Ekologi Lingkungan. Ia menggambarkan terjadinya penyakit sebagai adanya sebatang pengungkit yang mempunyai titik tumpu di tengah-tengahnya, yakni Lingkungan (Environment). Pada kedua ujung batang tadi terdapat pemberat, yakni agent/penyebab penyakit dan Pejamu atau host/populasi berisiko tinggi (Tuti. 2014).
Dalam kehidupan masyarakat China teori Humoral, yang beranggapan bahwa penyakit disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dalam tubuh. Dikatakan bahwa dalam tubuh manusia terdapat empat macam cairan yaitu putih, kuning, merah dan hitam. Bila terjadi ketidakseimbangan akan menyebabkan penyakit, tergantung dari jenis cairan yang dominan (Santa. 2014).
Menurut Florence Nightingale dalam Teori Holistik Keperawatan, Juga menyebutkan bahwa kesehatan holistik merupakan suatu kelangsungan kondisi kesejahteraan yang melibatkan upaya merawat diri sendiri secara fisik, upaya mengekpresikan emosi dengan benar dan efektif, dan upaya untuk menggunakan pikiran dengan konstruktif, upaya untuk secara konstruktif terlibat dengan orang lain dan upaya untuk memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Keperawatan holistik yang dimaksud adalah ilmu keperawatan mencakup seluruh aspek manusia, baik biologi (fisik), psikologi (kejiwaan), siosial (interaksi), kultural (budaya) dan spiritual (keagamaan). Selain itu holistik juga menyangkut kesejahteraan yang meliputi fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual (Wellness) (dalam Purwanto. 2012:3). Hal ini mendasari bahwa peran penting factor lingkungan, sebagai penyebab dari suatu penyakit yang diderita oleh mahkluk hidup.
Pendekatan sosial dalam teori kesehatan menurut Sarwono (1993) adalah sebagai berikut: 1) Pendekatan Emik, yaitu menganalisa perilaku seseorang dengan mendapatkan informasi dari pelaku sendiri, bersifat naratif, subjektif dan sukar digeneralisir, untuk mengetahui latar belakang seseorang, misalnya ketika kita berhadapan dengan seseorang yang tidak mau diberikan Imunsasi, bila kita mengetahui alasannya dalam waktu yang akan datang kita sudah dapat mengantisipasi dengan memberikan alternative jalan keluar yang lebih baik; 2) Pendekatan Etik, yaitu menganalisa perilaku/gejala social dari sudut pandang orang luar dan dibandingkan dengan budaya lain, sifatnya objektif dan mempunyai indicator/ukuran, agar bisa dibandingkan, misalnya bagaimana prsepsi penduduk pinggir kali tentang air bersih, yang melatarbelakangi pemakaian air sungai oleh penduduk sekitar daerah tersebut, biasanya juga dilakukan penelitian tentang budaya dua daerah tentang presepsi dan perilaku dalam membuang sampah (Atmanah, dkk. 2014).
Menurut WHO (1947) Sehat itu sendiri dapat diartikan bahwa suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Definisi WHO tentang sehat mempunyai karakteristik berikut yang dapat meningkatkan konsep sehat yang positif (dalam Rontono. 2013) memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh; 2) Memandang sehat dengan mengidentifikasi lingkungan internal dan eksternal, dan; Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup. Berarti sehat itu adalah suatu keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial dan spiritual.
Dalam UU No.23, 1992 tentang kesehatan disebutkan bahwa: Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan. Pengertian yang paling luas, sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal (psikologis, intelektual, spiritual dan penyakit) dan eksternal (lingkungan fisik, sosial dan ekonomi) dalam mempertahankan kesehatannya (Kemenkes. 2009).
Menurut Fraser, J.G. (1890) dalam teori batas akal, disebutkan bahwa manusia memecahkan masalah-masalah hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan manusia terbatas. Makin maju kebudayaannya, makin luas batas akal itu. Dalam banyak kebudayaan batas akal manusia masih sangat sempit. Soal-soal hidup yang tidak dapat mereka pecahkan dengan akal, dipecahkan dengan magic, atau ilmu gaib. Menurut Frazer, ketika religi belum hadir dalam kebudayaan manusia, manusia hanya menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan masalah-masaah hidup yang berada di luar jangkauan akal dan pengetahuannya. Ketika mereka menyadari bahwa ilmu gaib tidak bermanfaat bagi mereka, mulailah timbul kepercayaan bahwa alam dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa, sehingga manusia kemudian mulai mencari hubungan dengan Tuhan sebagai Penguasa (dalam Mois. 2008:5).
Menurut M. Crawley dan A. van Gennep (1905) dalam teori masa krisis dalam hidup individu. Kedua pakar menyatakan bahwa selama hidupnya manusia mengalami berbagai krisis yang sangat ditakuti oleh manusia, dan karena itu menjadi objek dari perhatiannya. Terutama terhadap bencana sakit dan maut, segala kepandaian, kekuasaan, dan harta benda yang dimilikinya, manusia tidak berdaya. Bagi manusia, ada saat-saat ketika manusia mudah jatuh sakit atau tertimpa bencana. Misalnya masa kanak-kanak, atau saat ia beralih dari usia pemuda ke usia dewasa, masa hamil, melahirkan, dan saat ia menghadapi sakratul maut. Pada saat-saat seperti itu manusia merasa perlu melakukan sesuatu untuk memperteguh imannya, yang dilakukannya dengan upacara-upacara. Perbuatan-perbuatan inilah yang merupakan pangkal dari religi dan merupakan bentuk-bentuk yang tertua (dalam Mois. 2008:6).
Menurut R.R. Marret (1909) dalam Teori Kekuatan Luar Biasa. Ia tidak sependapat dengan Tylor. Menurutnya, kesadaran seperti itu terlalu kompleks bagi pikiran makhluk manusia yang baru berada pada tingkat-tingkat awal dari kehidupannya. Pangkal dari segala perilaku keagamaan ditimbulkan oleh perasaan tidak berdaya dalam menghadapi gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap luar biasa dalam kehidupannya. Alam dianggap sebagai tempat adanya kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan yang telah dikenalnya dalam alam sekelilingnya, disebut the supernatural. Gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa itu dianggap sebagai akibat dari kekuatan supernatural atau kekuatan sakti (dalam Mois. 2008:6).
Indikator Yang Berhubungan Dengan Derajat Kesehatan menurut Teori Hendrik L. Blum
Dalam teori Hendrik L Blum juga menyebutkan 12 (dua belas) indikator yang berhubungan dengan derajat kesehatan masyarakat, yaitu: 1) Life spam, yaitu lamanya usia harapan untuk hidup dari masyarakat, atau dapat jugadipandang sebagai derajat kematian masyarakat yang bukan karena mati tua; 2) Disease or infirmity, yaitu keadaan sakit atau cacat secara fisiologis dan anatomis dari masyarakat; 3) Discomfort or ilness, yaitu keluhan sakit dari masyarakat tentang keadaan somatik, kejiwaan maupun sosial dari dirinya; 4) Disability or incapacity, yaitu ketidak mampuan seseorang dalam masyarakat untuk melakukan pekerjaan dan menjalankan peranan sosialnya karena sakit; 5) Participation in health care, yaitu kemampuan dan kemauan masyarakat untuk berpartisipasi dalam menjaga dirinya untuk selalu dalam keadaan sehat; 6) Health behaviour, yaitu perilaku manusia yang nyata dari anggota masyarakat secara langsung berkaitan dengan masalah kesehatan; 7) Ecologic behaviour, yaitu perilaku masyarakat terhadap lingkungan, spesies lain, sumberdaya alam, dan ekosistem; 8) Social behaviour, yaitu perilaku anggota masyarakat terhadap sesamanya, keluarga, komunitas dan bangsanya; 9) Interpersonal relationship, yaitu kualitas komunikasi anggota masyarakat terhadap sesamanya; 10) Reserve or positive health, yaitu daya tahan anggota masyarakat terhadap penyakit atau kapasitas anggota masyarakat dalam menghadapi tekanan-tekanan somatik, kejiwaan, dansosial; 11) External satisfaction: yaitu rasa kepuasan anggota masyarakat terhadap lingkungansosialnya meliputi rumah, sekolah, pekerjaan, rekreasi, transportasi dan; 12) Internal satisfaction: yaitu kepuasan anggota masyarakat terhadap seluruh aspek kehidupan dirinya sendiri.
Perbedaan Pendekatan Ilmu Medis moderna dan pendekatan Komplementer
Pendekatan pengobatan Komplementer diterapkan oleh tokoh ilmu kesehatan masyarakat Yunani Higeia mengajarkan kepada pengikutnya dalam pendekatan masalah kesehatan melalui “hidup seimbang”, menghindari makanan / minuman beracun, makan makanan yang bergizi (baik), cukup istirahat dan melakukan olahraga. Apabila orang yang sudah jatuh sakit Higeia lebih menganjurkan melakukan upaya-upaya secara alamiah untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut, antara lain lebih baik dengan memperkuat tubuhnya dengan makanan yang baik daripada dengan pengobatan / pembedahan. Ia cenderung melakukan upaya-upaya mengatasi penyakit dan meningkatkan kesehatan (promosi) sebelum terjadinya penyakit (preventive health care). Pendekatan preventif bercirikan sebagai berikut: 1) Sasaran atau pasien adalah masyarakat (bukan perorangan) masalah-masalah yang ditangani pada umumnya juga masalah-masalah yang menjadi masalah masyarakat, bukan masalah individu. Hubungan antara petugas kesehatan dengan masyarakat (sasaran) lebih bersifat kemitraan tidak seperti antara dokter-pasien.; 2) Pendekatan preventif lebih mengutamakan pendekatan proaktif, artinya tidak menunggu adanya masalah tetapi mencari masalah. Petugas kesehatan masyarakat tidak hanya menunggu pasien datang di kantor atau di tempat praktek mereka, tetapi harus turun ke masyarakat mencari dan mengidentifikasi masalah yang ada di masyarakat, dan melakukan tindakan dan; 3) Pendekatan preventif melihat klien sebagai makhluk yang utuh, dengan pendekatan yang holistik. Terjadinya penyakit tidak semata-mata karena terganggunya sistem biologi individual tetapi dalam konteks yang luas, aspek biologis, psikologis dan sosial. Dengan demikian pendekatannya pun tidak individual dan parsial tetapi harus secara menyeluruh atau holistik (Notoatmodjo. 2003).
Pendekatan pengobatan medis / ilmu barat dilakukan oleh seorang dokter pertama yaitu tokoh ilmu kesehatan masyarakat Yunani Asclepius yang disebutkan sebagai seorang dokter pertama bahwa ia telah dapat mengobati penyakit dan bahkan melakukan bedah berdasarkan prosedur-prosedur tertentu (surgical procedure) dengan baik. Asclepius yang mengajarkan pada pengikutnya yang cenderung menunggu terjadinya penyakit (setelah sakit), yang selanjutnya disebut pendekatan kuratif (pengobatan). Kelompok ini pada umumnya terdiri dari dokter, dokter gigi, psikiater dan praktisi-praktisi lain yang melakukan pengobatan penyakit baik fisik, psikis, mental maupun sosial (curative health care). Pendekatan kuratif dicirikan dengan: 1) Secara umum dilakukan terhadap sasaran secara individual, kontak terhadap sasaran (pasien) pada umumnya hanya sekali saja. Jarak antara petugas kesehatan (dokter, drg, dan sebagainya) dengan pasien atau sasaran cenderung jauh. 2) Pendekatan kuratif cenderung bersifat reaktif, artinya kelompok ini pada umumnya hanya menunggu masalah datang. Seperti misalnya dokter yang menunggu pasien datang di Puskesmas atau tempat praktek. Kalau tidak ada pasien datang, berarti tidak ada masalah, maka selesailah tugas mereka, bahwa masalah kesehatan adalah adanya penyakit dan; 3) Pendekatan kuratif cenderung melihat dan menangani klien atau pasien lebih kepada sistem biologis manusia atau pasien hanya dilihat secara parsial, padahal manusia terdiri dari kesehatan bio-psikologis dan sosial, yang terlihat antara aspek satu dengan yang lainnya (Notoatmodjo. 2003).
anda pilih yang mana?
semua adalah pilihan anda sesuai konsekwensinya masing-masing. anda ingin menghilangkan keluhan dengan cepat atau anda mau penyakitnya sembuh dengan sempurna?