Usada

Om Awighnam Astu Namasiwa Budhaya

Pengobatan Usada Bali

Kata usada berasal dari bahasa Sansekerta, yakni ausadhi. Lontar usada yang ada di Bali diperkirakan isinya diambil dari pengetahuan pengobatan di India. Diduga bersamaaan dengan perkembangan agama Hindu di Bali pada abad V usada ini turut menyebar di daerah Bali. Untuk mengetahui secara pasti kapan usada ini mulai muncul dan meluas di Bali tidaklah dapat dikatakan secara pasti. Berdasarkan beberapa peninggalan prasasti yang tersebar di berbagai tempat dan dari sumber lainnya dapat diperkirakan kapan kira-kira usada itu mulai ada dan berkembang di Bali (Nala, 1996).

Pada permulaan abad XI datanglah ke Bali seorang empu dari Jawa Timur yang digelari Empu Kuturan. Setelah berkeliling di Bali, akhirnya beliau mengambil keputusan untuk menetap di desa Silayukti, Padangbai, Karangasem. Di samping menyebarkan pengertian tentang agama Hindu, beliau banyak pula menghasilkan konsep-konsep baru dan menerapkan pendirian sanggah atau merajan serta pura kawian untuk tempat pemujaan leluhur dari sekelompok keluarga, dan dibangun pura kahyangan tiga untuk tempat pemujaan warga sebuah desa. Pura kahyangan tiga dibangun di setiap desa, sebagai lambang utpati – sthiti – pralina, lahir – tumbuh – mati, membangun – memelihara – memusnahkan yang selalu ada di setiap desa. Wujud dari kahyangan tiga di desa itu berbentuk pura Puseh, Desa atau Bale Agung, dan Dalem. Di setiap pura itu disungsung salah satu Dewa Tri Murti. Di pura Desa disungsung Dewa Brahma, lambang utpati, dewa kelahiran dan pencipta, dengan warna merah sebagai simbolnya. Dewa Wisnu sebagai Dewa sthiti, yakni dewa pemelihara dan pengembangan, dengan simbol warna hitam, disungsung di Pura Puseh. Dan di Pura Dalem disungsung Dewa Siwa, Dewa pralina, lambang dewa kematian dengan simbol warna putih (Nala, 1996).

Pada waktu pemerintahan Raja Waturenggong di Gelgel Bali pada tahun 1460-1550 datanglah dari Jawa Timur seorang bhagawan bernama Dang Hyang Dwijendra. Beliau merupakan seorang yang amat tinggi pengetahuannya di semua bidang, termasuk di dalam bidang ilmu pengobatan. Beliau mampu menyembuhkan hampir segala macam penyakit. Beliaulah yang mengembangkan sistem pengobatan di Bali yang dikaitkan dengan sistem mistik-putih, yang terkenal dengan sebutan angen balian sakti. Pada waktu beliau datang, di Bali sebenarnya telah ada pula sistem pengobatan yang sudah ada sejak jaman dahulu. Sistem ini diwariskan turun-temurun tanpa ditulis. Sejak datangnya Dang Hyang Dwijendra inilah penulisan Usada lebih digalakkan lagi, yang telah dirintis oleh para pendahulunya, termasuk Empu Kuturan. Maka bermunculanlah berbagai macam usada yang ditulis di atas daun lontar, seperti Usada Sari, Budha Kecapi, Kalima Usada, Taru Premana, Dharma Usada yang bersifat umum dan beberapa usada yang menjurus ke penyakit khusus, seperti Usada Dalem (penyakit dalam), Netra (mata), Sasah Bebai (penyakit bebainan), Buduh (gila), Tatenger Beling (mendiagnosis kehamilan), Upas (Racun, bisa) dan masih banyak lainnya lagi. Di samping itu, ada pula berbentuk tutur yangditulis juga di atas daun lontar, tetapi isinya tentang filsafat sehat sakit, aksara sakti, gambar lambing yang sulit dicerna oleh orang awam. Lontar tutur ini penyimpanannya amat dirahasiakan dan dihormati lebih dari lontar usada. Menurut beberapa ahli kebalianan, orang yang tidak teguh imannya dapat menjadi gila kalau membaca lontar tutur ini. Karena itulah dipingitkan sekali keberadaan lontar ini agar tidak dibaca oleh anak-anak dan orang yang tidak teguh pikirannya (Nala, 1996).

Jika disimak lebih dalam isi lontar tutur maupun usada yang beredar di Bali, sumber utamanya kebanyakan dari kitab Ayurveda. Kitab ini bukanlah kitab suci Yajur Veda yang merupakan salah satu dari kitab suci Catur Samhita Veda Sruti. Kitab Ayurveda ini adalah bagian dari kitab Upaveda dari Veda Smerti. Pada dasarnya beberapa bagian dari isi kitab Ayurveda ini diambil dari kitab Atharva Veda yang banyak memuat tentang ilmu pengobatan beserta doa-doanya. Kitab Atharva Veda ini memang bagian dari kitab suci Catur Samhita Veda Sruti (Nala, 1996).

 

1.2    Filosofi Usada

Di beberapa daerah kata Usada yang berasal dari bahasa sansekerta telah dijadikan bahasa Bali, sehingga menjadi wisada, yang berarti ubad, tamba, atau obat. Lontar Usada yaitu lontar yang menguraikan tentang penyakit, nama-nama penyakit, pemberian obat serta penyembuhan dengan cara-caranya (Suputra, 2009). Usada Bali merupakan suatu pengetahuan pengobatan yang disusun berdasarkan suatu acuan tertentu digabungkan dengan pengalaman praktik pengobatan di Bali selama ratusan tahun. Usada tidak hanya berisi penyakit dengan ramuan tumbuhan saja, tetapi juga mencakup pengetahuan tentang medico-psikomatik, farmakologi, farmasi, cara mendiagnosis penyakit, tanda-tanda kehamilan, merawat bayi, hari baik untuk melaksanakan pengobatan, sampai tanda-tanda seseorang yang akan meninggal (Sutara, 2007).

Usada umumnya terdapat dalam naskah kuno lontar yang ditulis dengan Bahasa kuno (Sansekerta) tersebar di masyarakat atau etnis Bali, terutama dari Balian, pemuka adat, para pelaksana upakara adat dan ada yang telah tersimpan di Gedung Kertya (Singaraja), Perpustakaan Pusat Denpasar, dan Fakultas Sastra Universitas Udayana. Isi dari satu usada dengan usada lain terdapat persamaan pengobatan tetapi penggunaan bahan dapat berbeda, selalu ada kekhasan masing – masing sesuai nama usada. Pokok pengetahuan yang menjadi dasar usada adalah mencangkup pandangan masyarakat Bali tentang sifat manusia (Bhuana alit, mikroskosmos) dan hubungannya dengan alam nyata (sekala), alam gaib (niskala), dan lingkungan tempat manusia hidup (Bhuana agung, makrokosmos) (Sutara, 2007).

Manusia disebut sehat apabila semua sistem dan unsur pembentuk tubuh (panca maha bhuta) yang berhubungan dengan aksara panca brahma (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing) serta cairan tubuhnya berada dalam keadaan seimbang dan dapat berfungsi dengan baik. Sistem tubuh dikendalikan oleh suatu cairan humoral. Cairan humoral ini terdiri dari tiga unsur yang disebut dengan tri dosha (vatta = unsur udara, pitta = unsur api, dan kapha = unsur air). Tiga unsur cairan tri dosha (unsur udara, unsur api, dan unsur air) dalam pratek pengobatan oleh balian dan menurut agama Hindu di Bali (Siwasidhanta), Ida Sang Hyang Widhi atau Bhatara Siwa (Tuhan) yang menciptakan semua yang ada di jagad raya ini. Beliau pula yang mengadakan penyakit dan obat. Penyakit itu tunggal dengan obatnya. Apabila salah cara mengobati, maka akan menjadi penyakit dan apabila benar cara mengobati akan menjadi sembuh (sehat). Secara umum penyakit ada tiga jenis, yakni penyakit panes (panas), nyem (dingin), dan sebaa (panas-dingin). Demikian pula tentang obatnya. Ada obat yang berkhasiat anget (hangat), tis (sejuk), dan dumelada (sedang). Dewa yang melaksanakan semua aktivitas ini adalah Brahma, Wisnu, dan Siwa yang disebut juga dengan Sang Hyang Tri Purusa atau Tri Murti atau Tri Sakti. Wujud Beliau adalah api, air, dan udara. Penyakit panes dan obat yang berkasihat anget, menjadi wewenang Bhatara Brahma. Bhatara Wisnu bertugas untuk mengadakan penyakit nyem dan obat yang berkasihat tis. Bhatara Iswara mengadakan penyaki sebaa dan obat yang berkasihat dumelada (Prastika, 2008).

Suatu penyakit tidaklah hanya merupakan gejala biologi saja, tetapi memiliki dimensi yang lain yakni sosial budaya. Suatu penyakit tidaklah cukup disembuhkan dengan hanya ditangani masalah biologinya saja, tetapi harus digarap masalah sosial budayanya. Pertolongan pengobatan yang dicari masyarakat pada umumnya bukanlah karena penyakit yang patogen, tetapi kebanyakan akibat adanya kelainan fungsi dari tubuhnya. Pengobatan dengan usada masih dipercaya masyarakat Bali banyak manfaatnya untuk menyembuhkan orang sakit (Prastika, 2008).